Pages

Apakah Asumsi The Spiral of Silence Theory Terbukti Kebenarannya?

Saturday, 14 January 2017
Berikut adalah pokok-pokok pikiran dari Teori “The Spiral of Silence” sebagaimana dikemukakan oleh Elizabeth Noelle-Neumann (1974; 1984; 1991):
a.    Individu pada umumnya memiliki ketakutan untuk terisolasi
b.    Ketakutan akan terisolasi menyebabkan individu mencoba untuk menilai iklim opini publik
c.    Perilaku publik dipengaruhi oleh penilaian akan opini publik
    Pokok-pokok pemikiran dari Teori “The Spiral of Silence” memiliki artian bahwa masyarakat dari kelompok mayoritas yang memegang kekuasaan akan memberikan ancaman berupa isolasi kepada mereka yang dianggap berada pada kelompok minoritas. Noelle-Neumann beranggapan bahwa masyarakat kita cenderung untuk bergantung pada orang-orang yang menentukan nilai tertentu dan dalam hal ini, opini publik memegang peranan dalam menentukan apakah nilai-nilai ini diyakini secara bersama-sama oleh seluruh masyarakat atau tidak. Bahkan orang-orang yang sedang berada dalam kelompok mayoritas sering merasa perlu untuk mengubah pendiriannya. Sebab kalau tidak, ia akan merasa sendiri. Hal ini bisa diamati pada individu yang menjadi masyarakat pendatang di suatu kelompok tertentu. Ia merasa perlu diam seandainya pendapat mayoritas bertolak belakang dengan pendapat dirinya atau kalau pendapat itu tidak merugikan dirinya, bahkan ia merasa perlu untuk mengubah pendirian sesuai dengan kelompok mayoritas tempat ia berada.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSM_2U39Nf7gKXSj-Ps3os3HyioctwtawqJDWyZ7MYZ6fcnCL0v

    Teori ini pun menjelaskan bahwa perilaku publik dipengaruhi oleh evaluasi opini publik. Perilaku publik dapat berupa berbicara mengenai suatu topik atau diam. Manusia enggan untuk mendiskusikan suatu topik yang tidak memiliki dukungan dari kaum mayoritas sehingga jika ia merasa ada dukungan dari kelompok mayoritas mengenai suatu topik, maka ia akan cenderung untuk mengkomunikasikannya. Namun, jika merasa bahwa orang lain tidak mendukung topik yang ingin didiskusikan maka mereka akan cenderung untuk diam.
    Asumsi yang menyatakan bahwa individu pada umumnya memiliki ketakutan untuk terisolasi terbukti kebenarannya apabila dikaitkan dengan salah satu faktor yang membantu menentukan apakah seseorang akan menyuarakan opini publik, yaitu: “pendukung opini yang dominan lebih bersedia untuk menyuarakan opini dibandingkan mereka yang memiliki opini minoritas”. Namun tidak terbukti kebenarannya saat dikaitkan dengan faktor yang menyatakan bahwa orang akan lebih berani berpendapat jika pendapat ini sesuai dengan keyakinan mereka dan juga sesuai dengan tren terkini dan semangat dari kelompok seusianya. Ancaman untuk terisolasi tidak akan membuat mereka diam bila pendapat yang akan mereka utarakan sesuai dengan keyakinan, contohnya seorang muslim yang percaya daging babi itu haram akan menolak opini bahwa daging babi itu halal atau ketika ia diundang untuk pesta daging babi. Orang ini akan cenderung untuk menolak dengan memperlihatkan perbedaan pendapatnya.
    Asumsi yang menyatakan bahwa “ketakutan akan terisolasi menyebabkan individu mencoba untuk menilai iklim opini publik” serta “perilaku publik dipengaruhi oleh penilaian akan opini publik” terbukti kebenarannya saat dikaitkan dengan beberapa faktor yang membantu menentukan apakah seseorang akan menyuarakan opini publik, diantaranya orang mendapat kekuatan untuk menyuarakan pendapat melalui berbagai sumber, orang akan cenderung berbagi pendapat dengan mereka yang memiliki kesepakatan yang sama pada pendapat tersebut, orang menyatakan pendapat jika itu sesuai dengan pandangan masyarakat dan pendukung opini yang dominan lebih bersedia untuk menyuarakan opini dibandingkan mereka yang memiliki opini minoritas.
    Di indonesia terdapat dua kelompok besar yang setuju dengan penerapan demokrasi dan yang tidak. Bagi kelompok yang pro, masyarakat dinaytakan sebagai pilar utama negara, maka demokrasi harus dijalankan dalam berbagai aspek kehidupan. Sedangkan kelompok penentang mengatakan bahwa kita memiliki Pancasila untuk mengatur negara yang mementingkan persatuan. Kalangan islam berpendapat bahwa demokrasi dalam islam sudah ada dan tidak perlu mengubahnya. Berbagai pendapat tersebut berkembang dan bertarung baik dalam wacana keseharian maupun melalui media massa. Namun, sejalan dengan perkembangan dan perubahan politik dunia, ide pelaksanaan demokrasi menang. Kelompok yang awalnya menentang demokrasi kini diam. Karena mayoritas opini yang berkembang adalah mendukung pelaksanaan demokrasi di Indonesia. Saat ini nyaris tidak ada orang yang secara terang-terangan menolak demokrasi. Mereka yang menolak hanya mengatakannya pada sesama kelompok, mulai menyembunyikan perbedaan opini, diam dan bahkan mulai mendukung ide pelaksanaan demokrasi.

Referensi:
Richard West dan Lynn H. Turner, Penganar teori komunikasi analisis dan aplikasi, salemba humanika, 2014, Jakarta
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2015.

Read more ...

Peran KPI Selaku Lembaga Pengawas Program Tayangan

Saturday, 14 January 2017
   
Kondisi tayangan televisi Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan. Hiburan “negatif” mendominasi konten media massa dan itu merupakan kenyataan yang harus kita akui bersama.  Peran KPI selaku lembaga yang berwenang mengawasi program tayangan ditengah-tengah masyarakat sangat tidak ideal sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Banyak pelanggaran yang dibiarkan dan pengaduan yang diabaikan. Kegagalan kinerja KPI dapat dibuktikan dengan lemahnya sistem pengawasan terhadap konten penyiaran, lambat dan buruknya respon serta tanggapan KPI terhadap aduan masyarakat terkait konten televisi yang ada serta kegagalan KPI dalam mengevaluasi P3SPS yang seharusnya lebih memihak kepada publik.
    Seperti iklan partai politik yang seolah merupakan bentuk eksploitasi media oleh pemilik yang tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran oleh KPI. Ini dibuktikan dengan tidak adanya sanksi berupa teguran maupun tindakan kepada partai politik mengiklankan diri di media miliknya.
    Terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh KPI dari pembiaran pelanggaran hingga minimnya respon terhadap aduan publik yang dirangkum oleh Remotivi, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Pembiaran eksploitasi frekuensi publik oleh pemilik media pada pemilu 2014
Selama 6 bulan (oktober 2013-januari 2014), KPI melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh RCTI dan Global TV melalui tayangan  “Kuis Kebangsaan” dan “Indonesia Cerdas”.
Kedua kuis interaktif tersebut merupakan alat kampanye politik Hary Tanoe, pemilik MNC Group yang hendak mencalonkan diri menjadi wakil presiden pada pemilihan umum 2014. KPI baru menindak dua kuis tersebut dua bulan setelah adanya demonstrasi oleh masyarakat yang tergabung dalam gerakan Frekuensi Milik Publik pada 16 Januari 2014
b.    Catatan metodologi dalam survei indeks kualitas siaran
Pada 2015 KPI merilis serangkaian survei indeks kualitas siaran dalam upaya membuat rating tandingan dari rating Nielsen. Berbeda dari Nielsen yang mengukur banyaknya penonton sebuah tayangan, penilaian KPI beranjak dari parameter normatif untuk menentukan kualitas tayangan.
Namun nyatanya survei ini penuh cacat metodologi. Salah satuny adalah bahwa penilaian diberikan hanya dari sampel 7 menit dari tiap tayangan. Cara ini tidak mungkin menghasilkan penilaian yang objektif maupun masukan yang berarti bagi pekerja madia. Pada akhirnya, survei ini tak lebih dari penghamburan 7 miliar uang negara untuk kegiatan yang percuma.
c.    Gagal melakukan revisi P3SPS 2012
Pada 28 Agustus 2015, KPI melakukan uji publik revisi draf P3SPS. Alih-alih menutupi kelemahan aturan-aturan yang ada dalam peraturan sebelumnya, revisi KPI justru membuatnya kian longgar. Misalnya, salah satu pasal dalam draf tersebut mengizinkan televisi untuk menayangkan program yang berisi kepentingan perorangan atau kelompok dengan durasi maksimal satu jam. Pasal ini jelas merugikan publik. Bahkan sampai saat ini belum ada kabar mengenai kelanjutan revisi tersebut.
d.    Mengeluarkan sanksi sebatas basa-basi
Infografis yang dipublikasikan Remotivi menunjukan bahwa sanksi-sanksi yang dikeluarkan KPI  tidak berhasil menimbulkan efek jera kepada program yang melanggar. Hal ini dikarenakan sanksi yang didapatkan hanya berupa teguran dan tidak ada upaya untuk memberikan sanksi yang lebih berat apabila pelanggaran dilakukan berulang.
e.    Gagal menggelar evaluasi dengar pendapat perpanjangan izin 10 stasiun televisi swasta dengan layak
Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) adalah momen penting dalam peroses memperpanjang izin stasiun televisi selama sepuluh tahun kedepan, sekaligus peluang bagi pembenahan kualitas siaran yang selama ini dikeluhkan publik. Namun sayangnya, evaluasi tersebut jauh dari layak karena dilakukan tanpa parameter yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. KPI pun tidak melakukan evaluasi berdasarkan data pemantau kepatuhan masing-masing stasiun televisi terhadap aturan yang ada selama 10 tahun terakhir.
f.    Mengeluarkan surat edaran yang diskriminatif terhadap LGBT
Pada 23 Februari 2016 KPI mengeluarkan surat edaran yang melarang stasiun televisi menampilkan pengisi acara pria yang berpenampilan atau berprilaku kewanitaan. Surat edaran ini jelas inkonstitusional karena bertentangan dengan aturan KPI sendiri, yaitu P3SPS pasal 15 ayat 1 “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan orang dan/atau kelompok dengan orientasi seks dan identitas gender tertentu”.
g.    Pembiaran iklan partai perindo di televisi milik MNC Grop
Disepanjang 28 Januari 2016 sampau 3 Februari 2016 Global TV dan MNC TV menayangkan iklan partai Perindo dengan rata-rata 6 spot/hari. Padahal, Standar Program Siaran pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa “program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya”.

Referensi:
http://www.remotivi.or.id/meja-redaksi/246/Televisi-Dieksploitasi,-KPI-Bergeming http://www.remotivi.or.id/infografis/71/Tujuh-Catatan-Buruk-KPI-Periode-2013-2016
Read more ...

Konsekuensi Liberalisasi Media Massa Pasca Reformasi dan Kebebasannya Menayangkan Konten Vulgar

Saturday, 14 January 2017
    Kemunculan vidio klip Young Lex F. Awkarin yang viral di media online dan mulai merambah ke media konvensional merupakan konsekuensi dari leberalisme media yang hinggap di Indonesia pasca Reformasi.
    Dengan berakhirnya orde baru, maka berakhir pula pembungkaman pers ditanah air. Kehidupan pers yang semula kaku dan berfokus pada isu pemerintahan kini memasuki era baru, era kebebasan yang nyaris tanpa batas. Kebebasan ini diakui dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1-4, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28F. Karena itulah masa reformasi yang memberikan kebebasan bagi pers harus disyukuri.
    Namun yang patut dipertanyakan adalah sejauh mana pers bertanggung jawab atas kebebasan yang dimilikinya? Pertanyaan ini mengacu pada batasan media memberikan konten yang akan dikonsumsi oleh audience. Kondisi pers yang memiliki kebebasan tanpa batas sekarang ini cukup mengkhawatirkan karena telah merubah paradigma khalayak yang awalnya menganggap seksualitas sebagai isu yang tabu dan mengundang perasaan risih untuk diperbincangkan, kini media tanpa segan menyuguhkan konten seksualitas dan menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi utamanya.
    Liberalisasi media kini sudah bukan merupakan ancaman lagi, melainkan sudah terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa kini media massa memiliki dua wajah, yang pertama adalah sebagai ruang publik dan yang kedua sebagai institusi ekonomi. Wajah pertama membuat media layak untuk disebut sebagai pilar pendukung tegaknya demokrasi. Namun nyatanya kini media massa pun dijadikan alat usaha untuk mengembangkan uang para pemilik modal. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan media seakan kehilangan integritas sebagai ruang publik antara pemerintah dengan rakyat dan atau rakyat dengan rakyat.



https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRAQWEP7MBGESVd_dGYb2wIpC6Q6SqJpG9l33JvvLm8wyvBKlBUSw

    Salah satu media konvensional, yaitu televisi memiliki peran sentral dalam menyebarkan arus informasi kepada khalayak. Sebagai salah satu media komunikasi, televisi hadir dalam masyarakat melalui program-program yang berupa tayangan-tayangan untuk dikonsumsi. Tayangan-tayangan ini hadir guna memenuhi kebutuhan publik akan media massa, dimana perantaranya adalah televisi tersebut.
    Namun pada kenyataannya, kebutuhan khalayak akan media seakan dikesampingkan dengan adanya konglomerasi media. Konglomerasi media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media-media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media.
    Dapat kita amati bahwa saat ini banyak sekali stasiun-stasiun televisi swasta yang menampilkan tayangan tidak berkualitas. Tayangan-tayangan yang disajikan hanya untuk mengejar profit dan rating saja. Banyak dijumpai tayangan yang menampilkan adegan tidak baik, seperti kegiatan bullying, adegan kekerasan, dialog yang merendahkan orang lain, tayangan vulgar yang merendahkan figur seorang perempuan, bahkan tayangan yang menampilkan kehidupan pribadi seorang artis yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan khalayak.
    Jika dilihat dari segi ekonomi, sebenarnya kepemilikan suatu perusahaan media itu sah-sah saja. Tetapi kalau kegiatan atau kepemilikan tersebut menyalahi aturan dan mengesampingkan hak publik maka hal itu perlu ditinjak lanjuti, baik oleh pemerintah dan atau khalayak sebagai konsumen media.

Referensi:
http://m.kompasiana.com/gabbfernanda/seksploitasi-media-antara-etika-dan-estetika
http://lpmhimmahuii.org/2015/03/dibalik-layar-kaca/
Read more ...

Analisis Pemberitaan Media Massa Tentang Kasus Pembunuhan Mirna Oleh Jessica (Agenda Setting Theory)

Saturday, 14 January 2017
Kasus pembunuhan Mirna oleh Jessica termasuk isu panas yang sempat menjadi perhatian media massa di Indonesia. Dalam kasus ini media massa melakukan setting terhadap mindset masyarakat. Media massa menyajikan berita yang sama setiap harinya, seolah-olah tidak ada pemberitaan yang lebih layak untuk diberikan kepada masyarakat. Tak tanggung-tanggung beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung proses persidangan Jessica.
    15 Juni 2016 adalah sidang perdana kasus pembunuhan Mirna dilakukan, namun sejak Januari 2016 pemberitaan media massa mengerahkan opini publik bahwa pembunuh Mirna adalah Jessica. Bahkan sebelum polisi menetapkan Jessica sebagai tersangka, media memberitakan Jessica yang membuang celana yang dikenakan saat bertemu Mirna (20 Januari 2016, CNN Indonesia, Tribun News, Tempo, Liputan 6, Kompas.com, Sindo News), pernyataan dari ayah Mirna, Dermawan, yang menuduh Jessica sebagai pelaku pembunuhan putrinya (Februari 2016, Tribun News, Detik, Sindo News, Kompas.com), perilaku “mencuriakan” Jessica (27 Januari-Februari 2016; Tempo, Bintang, Liputan6) hingga perkiraan motif Jessica membunuh Mirna (Februari-Maret 2016; Kompas.com, Liputan 6, Okezone).
    Kasus ini dapat dikaitan dengan teori agenda setting yang dikemukakan oleh McCombs & Shaws, dll. Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audience mengenai isu-isu apa sajakah yang penting. Agenda setting merupakan penciptaan kesadaran publik dan pemilihan isu-isu mana yang dianggap penting melalui sebuah tayangan media.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS7p3riRwYtO8AFy7bzvX6L_Xj8hHo3KLMYn7a_AxvYTdbEB4OH

    Merujuk pada asumsi teori agenda setting yang pertama yaitu pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas tersebut. Kasus ini pun demikian, media massa terus-menerus memberitakan Jessica. Framing yang dilakukan media membuat isu Jessica terus-menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Akhirnya pers berhasil mengalihkan audience dalam berpikir bahwa Jessica lah pembunuhnya. Framing media membimbing audience untuk menghakimi seseorang. Masyarakat Indonesia yang plural berhasil digiring oleh televisi berada pada satu titik untuk meyakini bahwa benar Jessica membunuh Mirna bahkan sebelum diputuskan oleh pengadilan. Padahal dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c “setiap orang yang disangka, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
    Asumsi kedua teori ini menyatakan bahwa media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Hal ini terbukti dengan media massa yang terlalu mendramatisasi kasus Jessica layaknya sinetron. Media gencar memberitakannya bahkan menayangkan persidangan secara live seolah-olah kasus itu penting bagi semua masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep priming dimana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu yang lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005:271).
    Proses priming menegaskan pola dan terminologi kunci bahwa penonjolan dan penekanan isu mempunyai hubungan sebab akibat dengan standar penilaian publik dan perhatian publik terhadap isu tertentu. Dalam kasus Jessica terdapat penekanan pada isu tentang prilaku moral dan etika. Sayangnya tindakan tersebut secara tidak langsung dapat mengajarkan kepada masyarakat awam bahwa ada motif pembunuhan baru yaitu dengan menggunakan sianida. Bisa saja para pelaku kejahatan akan mencoba motif tersebut sehingga akan menimbulkan kasus-kasus baru.

Referensi:
https://paksanto.wordpress.com/2010/05/08agenda-setting-framing-dan-priming
http://www.himakomunib.org/2012/12/teori-agenda-setting
Read more ...

Kemungkinan Perilaku Konsumsi Media dari Berbagai Lapisan Masyarakat (Uses and Gratification Theory)

Saturday, 14 January 2017
Menurut pendekatan “Uses and Gratification” (Katz et al; 1959; 1974) dalam mengkonsumsi media khalayak pada dasarnya bersifat “aktif – slektif dan mempunyai tujuan”. Teori ini jelas bertentangan dengan teori peluru. Dalam teori peluru media sangat aktif dan all powerfull, sementara audience berada dipihak yang pasif. Sedangkan teori ini menyatakan bahwa audience aktif untuk menentukan media mana yang harus dipilih untuk memuaskan kebutuhan mereka. Jika dalam teori peluru terpaan media akan mengenai audience sebab ia berada di pihak yang pasif, sementara dalam teori uses and gratification justru sebaliknya. Manusia memiliki otonomi dan wewanang untuk memperlakukan media. Blumer dan Katz percaya bahwa tidak hanya ada satu jalan bagi khalayak untuk menggunakan media. Sebaliknya mereka percaya bahwa konsumen media mempunyai kebebasan untuk memutuskan bagaimana (lewat media mana) mereka menggunakan media dan bagaimana media itu akan berdampak pada dirinya.
https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRjtu0AHQrlE5ih9i_mIMehTjmc6ChoSBgzFQbWm-i-51Wr9zrb

    Dalam kajian yang dilakukan oleh Frank Biocca dalam artikelnya yang berjudul “Opposing Conceptions of The Audience: The Active and Passive Hemispheres of Communication Theory” (1998), yang kemudian diakui menjadi tulisan paling komprehensif mengenai perdebatan tentang khalayak aktif vs khalayak pasif. Dalam teori tersebut dapat diketahui beberapa tipologi dari khalayak aktif, diantaranya adalah sebagai berikut:
a.    Selektifitas, khalayak aktif dianggap selektif dalam berproses konsumsi media yang mereka pilih untuk digunakan. Mereka tidak asal dalam memilih media, karena didasari tujuan dan alasan tertentu. Misalnya kalangan bisnis lebih berorientasi mengkonsusi majalah Swasembada dan Harian Bisnis Indonesia untuk mengetahui perkembangan dunia bisnis, penggemar olah raga mengkonsumsi Tabloid Bola untuk mengetahui hasil berbagai pertandingan olah raga dan sebagainya.
b.    Utilitarianisme, khalayak aktif mengkonsumsi media dalam rangka suatu kepentingan untuk memenuhi kebutuhan dan tujuan tertentu yang mereka miliki
c.    Intensionalitas, tipologi ini mengandung makna penggunaan secara sengaja dari isi media
d.    Keikutsertaan, khalayak secara aktif berfikir mengenai alasan mereka dalam mengkonsumsi media
e.    Khalayak aktif dipercaya sebagai komunitas yang tahan dalam menghadapi pengaruh media (impervious to influence) atau tidak mudah dibujuk oleh media itu sendiri.
    Salah satu cara yang dapat digunakan untuk menjawab apakah masyarakat telah bersikap aktif-slektif dalam menggunakan media adalah dari pendidikan dan tingkat “melek media” audience itu sendiri. Audience yang terdidik dan “melek media” cenderung untuk menjadi bagian dari khalayak aktif karena mereka bisa memilih media mana yang sesuai, media mana yang mereka butuhkan dibandingkan dengan yang tidak.
    Kita dapat pula menilai masyakarat dari media yang dipilih olehnya. Media cetak kriminal, seperti Pos Kota dan Lampu Merah di Jakarta, Meteor di Jawa Tengah, Koran Merapi di Yogyakarta dan Memorandum di Jawa Timur sangat populer dikalangan menengah ke bawah. Semua surah kabar tersebut dapat dengan mudah di dapatkan karena banyak penjualnya di pinggir jalan dengan konsumen yang didominasi kalangan menengah ke bawah yang memiliki tingkat slektifitas rendah dan tujuan yang tidak begitu jelas. Berbeda dengan kalangan menengah ke atas yang lebih terdidik dan “melek media”, mereka akan mengkonsumsi media massa dengan slektif dan memiliki tujuan tertentu. Contohnya, mereka yang aktif dalam kegiatan kegiatan perekonomian tentu akan memilih Harian Bisnis Indonesia yang tentu lebih banyak mengupas masalah ekonomi.
    Saat ini masyarakat sudah banyak yang berani untuk mengkritik konten media, yang merupakan penanda positif atas meningkatnya kegiatan aktif-selektif  dan literasi media. Contohnya adalah petisi untuk memberhentikan tayangan Yuk Keep Smile (YKS) di Trans TV. Pemerkasanya adalah Rifqi Alfian, dia menolak YKS karena menginginkan tontonan yang bermutu dan tidak membodohi publik, terutama anak-anak. Banyaknya masyarakat yang berpartisipasi menandakan bahwa masyarakat tidak pasif dalam menonton televisi.

Referensi:
Nurudin, Pengantar Komunikasi Massa, Rajawali Pers, Jakarta, 2015.
http://www.remotivi.or.id/amatan-4/46/Bias-Kelas-dan-Literasi-Media
http://komunikasimassa-umy.blogspot.co.id/2005/11/teori-media-dan-khalayak-dalam
Read more ...