Kondisi tayangan televisi Indonesia saat ini semakin mengkhawatirkan. Hiburan “negatif” mendominasi konten media massa dan itu merupakan kenyataan yang harus kita akui bersama. Peran KPI selaku lembaga yang berwenang mengawasi program tayangan ditengah-tengah masyarakat sangat tidak ideal sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang. Banyak pelanggaran yang dibiarkan dan pengaduan yang diabaikan. Kegagalan kinerja KPI dapat dibuktikan dengan lemahnya sistem pengawasan terhadap konten penyiaran, lambat dan buruknya respon serta tanggapan KPI terhadap aduan masyarakat terkait konten televisi yang ada serta kegagalan KPI dalam mengevaluasi P3SPS yang seharusnya lebih memihak kepada publik.
Seperti iklan partai politik yang seolah merupakan bentuk eksploitasi media oleh pemilik yang tidak dianggap sebagai bentuk pelanggaran oleh KPI. Ini dibuktikan dengan tidak adanya sanksi berupa teguran maupun tindakan kepada partai politik mengiklankan diri di media miliknya.
Terdapat beberapa kesalahan yang dilakukan oleh KPI dari pembiaran pelanggaran hingga minimnya respon terhadap aduan publik yang dirangkum oleh Remotivi, diantaranya adalah sebagai berikut:
a. Pembiaran eksploitasi frekuensi publik oleh pemilik media pada pemilu 2014
Selama 6 bulan (oktober 2013-januari 2014), KPI melakukan pembiaran terhadap pelanggaran yang dilakukan oleh RCTI dan Global TV melalui tayangan “Kuis Kebangsaan” dan “Indonesia Cerdas”.
Kedua kuis interaktif tersebut merupakan alat kampanye politik Hary Tanoe, pemilik MNC Group yang hendak mencalonkan diri menjadi wakil presiden pada pemilihan umum 2014. KPI baru menindak dua kuis tersebut dua bulan setelah adanya demonstrasi oleh masyarakat yang tergabung dalam gerakan Frekuensi Milik Publik pada 16 Januari 2014
b. Catatan metodologi dalam survei indeks kualitas siaran
Pada 2015 KPI merilis serangkaian survei indeks kualitas siaran dalam upaya membuat rating tandingan dari rating Nielsen. Berbeda dari Nielsen yang mengukur banyaknya penonton sebuah tayangan, penilaian KPI beranjak dari parameter normatif untuk menentukan kualitas tayangan.
Namun nyatanya survei ini penuh cacat metodologi. Salah satuny adalah bahwa penilaian diberikan hanya dari sampel 7 menit dari tiap tayangan. Cara ini tidak mungkin menghasilkan penilaian yang objektif maupun masukan yang berarti bagi pekerja madia. Pada akhirnya, survei ini tak lebih dari penghamburan 7 miliar uang negara untuk kegiatan yang percuma.
c. Gagal melakukan revisi P3SPS 2012
Pada 28 Agustus 2015, KPI melakukan uji publik revisi draf P3SPS. Alih-alih menutupi kelemahan aturan-aturan yang ada dalam peraturan sebelumnya, revisi KPI justru membuatnya kian longgar. Misalnya, salah satu pasal dalam draf tersebut mengizinkan televisi untuk menayangkan program yang berisi kepentingan perorangan atau kelompok dengan durasi maksimal satu jam. Pasal ini jelas merugikan publik. Bahkan sampai saat ini belum ada kabar mengenai kelanjutan revisi tersebut.
d. Mengeluarkan sanksi sebatas basa-basi
Infografis yang dipublikasikan Remotivi menunjukan bahwa sanksi-sanksi yang dikeluarkan KPI tidak berhasil menimbulkan efek jera kepada program yang melanggar. Hal ini dikarenakan sanksi yang didapatkan hanya berupa teguran dan tidak ada upaya untuk memberikan sanksi yang lebih berat apabila pelanggaran dilakukan berulang.
e. Gagal menggelar evaluasi dengar pendapat perpanjangan izin 10 stasiun televisi swasta dengan layak
Evaluasi Dengar Pendapat (EDP) adalah momen penting dalam peroses memperpanjang izin stasiun televisi selama sepuluh tahun kedepan, sekaligus peluang bagi pembenahan kualitas siaran yang selama ini dikeluhkan publik. Namun sayangnya, evaluasi tersebut jauh dari layak karena dilakukan tanpa parameter yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan. KPI pun tidak melakukan evaluasi berdasarkan data pemantau kepatuhan masing-masing stasiun televisi terhadap aturan yang ada selama 10 tahun terakhir.
f. Mengeluarkan surat edaran yang diskriminatif terhadap LGBT
Pada 23 Februari 2016 KPI mengeluarkan surat edaran yang melarang stasiun televisi menampilkan pengisi acara pria yang berpenampilan atau berprilaku kewanitaan. Surat edaran ini jelas inkonstitusional karena bertentangan dengan aturan KPI sendiri, yaitu P3SPS pasal 15 ayat 1 “Lembaga penyiaran wajib memperhatikan dan melindungi hak dan kepentingan orang dan/atau kelompok dengan orientasi seks dan identitas gender tertentu”.
g. Pembiaran iklan partai perindo di televisi milik MNC Grop
Disepanjang 28 Januari 2016 sampau 3 Februari 2016 Global TV dan MNC TV menayangkan iklan partai Perindo dengan rata-rata 6 spot/hari. Padahal, Standar Program Siaran pasal 11 ayat 2 menyatakan bahwa “program siaran dilarang dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi pemilik lembaga penyiaran bersangkutan dan/atau kelompoknya”.
Referensi:
http://www.remotivi.or.id/meja-redaksi/246/Televisi-Dieksploitasi,-KPI-Bergeming http://www.remotivi.or.id/infografis/71/Tujuh-Catatan-Buruk-KPI-Periode-2013-2016
No comments:
Post a Comment