Kasus pembunuhan Mirna oleh Jessica termasuk isu panas yang sempat menjadi perhatian media massa di Indonesia. Dalam kasus ini media massa melakukan setting terhadap mindset masyarakat. Media massa menyajikan berita yang sama setiap harinya, seolah-olah tidak ada pemberitaan yang lebih layak untuk diberikan kepada masyarakat. Tak tanggung-tanggung beberapa stasiun televisi menyiarkan secara langsung proses persidangan Jessica.
15 Juni 2016 adalah sidang perdana kasus pembunuhan Mirna dilakukan, namun sejak Januari 2016 pemberitaan media massa mengerahkan opini publik bahwa pembunuh Mirna adalah Jessica. Bahkan sebelum polisi menetapkan Jessica sebagai tersangka, media memberitakan Jessica yang membuang celana yang dikenakan saat bertemu Mirna (20 Januari 2016, CNN Indonesia, Tribun News, Tempo, Liputan 6, Kompas.com, Sindo News), pernyataan dari ayah Mirna, Dermawan, yang menuduh Jessica sebagai pelaku pembunuhan putrinya (Februari 2016, Tribun News, Detik, Sindo News, Kompas.com), perilaku “mencuriakan” Jessica (27 Januari-Februari 2016; Tempo, Bintang, Liputan6) hingga perkiraan motif Jessica membunuh Mirna (Februari-Maret 2016; Kompas.com, Liputan 6, Okezone).
Kasus ini dapat dikaitan dengan teori agenda setting yang dikemukakan oleh McCombs & Shaws, dll. Agenda setting menjelaskan begitu besarnya pengaruh media berkaitan dengan kemampuannya dalam memberitahukan kepada audience mengenai isu-isu apa sajakah yang penting. Agenda setting merupakan penciptaan kesadaran publik dan pemilihan isu-isu mana yang dianggap penting melalui sebuah tayangan media.
https://encrypted-tbn2.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcS7p3riRwYtO8AFy7bzvX6L_Xj8hHo3KLMYn7a_AxvYTdbEB4OH |
Merujuk pada asumsi teori agenda setting yang pertama yaitu pers dan media tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya, melainkan mereka membentuk dan mengkonstruk realitas tersebut. Kasus ini pun demikian, media massa terus-menerus memberitakan Jessica. Framing yang dilakukan media membuat isu Jessica terus-menerus ditayangkan di media sehingga muncul agenda publik. Akhirnya pers berhasil mengalihkan audience dalam berpikir bahwa Jessica lah pembunuhnya. Framing media membimbing audience untuk menghakimi seseorang. Masyarakat Indonesia yang plural berhasil digiring oleh televisi berada pada satu titik untuk meyakini bahwa benar Jessica membunuh Mirna bahkan sebelum diputuskan oleh pengadilan. Padahal dalam Penjelasan Umum KUHAP butir ke 3 huruf c “setiap orang yang disangka, dituntut dan atau dihadapkan di muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahan dan memperoleh kekuatan hukum tetap.”
Asumsi kedua teori ini menyatakan bahwa media menyediakan beberapa isu dan memberikan penekanan lebih kepada isu tersebut yang selanjutnya memberikan kesempatan kepada publik untuk menentukan isu mana yang lebih penting dibandingkan dengan isu lainnya. Hal ini terbukti dengan media massa yang terlalu mendramatisasi kasus Jessica layaknya sinetron. Media gencar memberitakannya bahkan menayangkan persidangan secara live seolah-olah kasus itu penting bagi semua masyarakat. Hal ini sejalan dengan konsep priming dimana media massa berfokus pada sebagian isu dan tidak pada isu yang lainnya dan dengan demikian mengubah juga standar evaluasi yang digunakan khalayak untuk menilai realitas sosial yang dihadapinya (Severin, 2005:271).
Proses priming menegaskan pola dan terminologi kunci bahwa penonjolan dan penekanan isu mempunyai hubungan sebab akibat dengan standar penilaian publik dan perhatian publik terhadap isu tertentu. Dalam kasus Jessica terdapat penekanan pada isu tentang prilaku moral dan etika. Sayangnya tindakan tersebut secara tidak langsung dapat mengajarkan kepada masyarakat awam bahwa ada motif pembunuhan baru yaitu dengan menggunakan sianida. Bisa saja para pelaku kejahatan akan mencoba motif tersebut sehingga akan menimbulkan kasus-kasus baru.
Referensi:
https://paksanto.wordpress.com/2010/05/08agenda-setting-framing-dan-priming
http://www.himakomunib.org/2012/12/teori-agenda-setting
No comments:
Post a Comment