Pages

Konsekuensi Liberalisasi Media Massa Pasca Reformasi dan Kebebasannya Menayangkan Konten Vulgar

Saturday, 14 January 2017
    Kemunculan vidio klip Young Lex F. Awkarin yang viral di media online dan mulai merambah ke media konvensional merupakan konsekuensi dari leberalisme media yang hinggap di Indonesia pasca Reformasi.
    Dengan berakhirnya orde baru, maka berakhir pula pembungkaman pers ditanah air. Kehidupan pers yang semula kaku dan berfokus pada isu pemerintahan kini memasuki era baru, era kebebasan yang nyaris tanpa batas. Kebebasan ini diakui dan diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 pasal 4 ayat 1-4, Undang-Undang Dasar 1945 pasal 28F. Karena itulah masa reformasi yang memberikan kebebasan bagi pers harus disyukuri.
    Namun yang patut dipertanyakan adalah sejauh mana pers bertanggung jawab atas kebebasan yang dimilikinya? Pertanyaan ini mengacu pada batasan media memberikan konten yang akan dikonsumsi oleh audience. Kondisi pers yang memiliki kebebasan tanpa batas sekarang ini cukup mengkhawatirkan karena telah merubah paradigma khalayak yang awalnya menganggap seksualitas sebagai isu yang tabu dan mengundang perasaan risih untuk diperbincangkan, kini media tanpa segan menyuguhkan konten seksualitas dan menjadikan perempuan sebagai objek eksploitasi utamanya.
    Liberalisasi media kini sudah bukan merupakan ancaman lagi, melainkan sudah terjadi di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Sebagaimana yang telah kita ketahui bersama, bahwa kini media massa memiliki dua wajah, yang pertama adalah sebagai ruang publik dan yang kedua sebagai institusi ekonomi. Wajah pertama membuat media layak untuk disebut sebagai pilar pendukung tegaknya demokrasi. Namun nyatanya kini media massa pun dijadikan alat usaha untuk mengembangkan uang para pemilik modal. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan media seakan kehilangan integritas sebagai ruang publik antara pemerintah dengan rakyat dan atau rakyat dengan rakyat.



https://encrypted-tbn0.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcRAQWEP7MBGESVd_dGYb2wIpC6Q6SqJpG9l33JvvLm8wyvBKlBUSw

    Salah satu media konvensional, yaitu televisi memiliki peran sentral dalam menyebarkan arus informasi kepada khalayak. Sebagai salah satu media komunikasi, televisi hadir dalam masyarakat melalui program-program yang berupa tayangan-tayangan untuk dikonsumsi. Tayangan-tayangan ini hadir guna memenuhi kebutuhan publik akan media massa, dimana perantaranya adalah televisi tersebut.
    Namun pada kenyataannya, kebutuhan khalayak akan media seakan dikesampingkan dengan adanya konglomerasi media. Konglomerasi media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media-media menjadi perusahaan yang lebih besar yang membawahi banyak media.
    Dapat kita amati bahwa saat ini banyak sekali stasiun-stasiun televisi swasta yang menampilkan tayangan tidak berkualitas. Tayangan-tayangan yang disajikan hanya untuk mengejar profit dan rating saja. Banyak dijumpai tayangan yang menampilkan adegan tidak baik, seperti kegiatan bullying, adegan kekerasan, dialog yang merendahkan orang lain, tayangan vulgar yang merendahkan figur seorang perempuan, bahkan tayangan yang menampilkan kehidupan pribadi seorang artis yang tidak ada kaitannya dengan kepentingan khalayak.
    Jika dilihat dari segi ekonomi, sebenarnya kepemilikan suatu perusahaan media itu sah-sah saja. Tetapi kalau kegiatan atau kepemilikan tersebut menyalahi aturan dan mengesampingkan hak publik maka hal itu perlu ditinjak lanjuti, baik oleh pemerintah dan atau khalayak sebagai konsumen media.

Referensi:
http://m.kompasiana.com/gabbfernanda/seksploitasi-media-antara-etika-dan-estetika
http://lpmhimmahuii.org/2015/03/dibalik-layar-kaca/

No comments:

Post a Comment